Friday, November 12, 2010

"PANGGILAN TUHAN BAGIKU"




Aku melihat bangunan megah nan kokoh berdiri di atas tanah yang sedikit menanjak, di tenggah-tengah perkebunan salak dan sawah di belakangnya. Bertempat di suatu desa yang tak banyak orang dari suku kami pun tahu di manakah tempat itu. Bangunan yang dibangun atas doa, kerja keras, gotong royong, semangat dan kebanggaan dari para perantau. Membuat bangunan itu sangat bernilai dan wah..jika dibanding dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya.

Daerah itu adalah Tolping, sebuah desa di Kecamatan Pakkat, Tapanuli Utara-Sumatera Utara. Desa Itu adalah kampung halamanku, tempat orang tuaku lahir dan dibesarkan, dan leluhurku berada. Sedang bangunan itu kita kenal dengan Gereja!. Rasa-rasanya ketika aku pulang ke kampung halaman orang tuaku pada tahun 2007, sudah lama rasanya hampir 2 tahun aku tidak menginjakan kakiku di sana, sehingga aku sangat terperangah menyaksikan Gereja yang megah itu ada di kampungku yang sangat terpelosok..bahkan banyak orang dari suku kami menjuluki daerah kami sebagai daerah ”Parhuta-huta hiannn...”  karena saking jauh dan terpelosoknya.

Sungguh tak sabar menunggu hari minggu untuk beribadah terlebih lagi hari itu adalah hari natal (25 Desember 2007). Dan aku pun berkesempatan untuk masuk dan mengagumi lebih dalam lagi. Benar rasanya ketika hari minggu tiba, aku sangat bersemangat dan ingin cepat-cepat menuju dan masuk ke Gereja. Hari-hari berat selama di kampung yang sangat alami dan terpelosok terbayar sudah ketika aku masuk dalam gereja. Sungguh menakjubkan aku mengagumi rancangan gereja ini, terlebih lagi Bapakku bercerita dengan bangganya bahwa para perantau yang sudah sukses di Jakarta-lah yang membangun ini semua.. Ada terselip kebanggaan dalam dirinya yang juga ikut mengambil bagian pembangunan gereja.

Bunyi lonceng gereja menandakan ibadah akan mulai, namun aku melihat sekelilingku hanya aku sekeluarga dan sedikit penduduk yang hadir. Tanyaku kepada mama sambil berbisik” kemana  semua orang, ma? Lalu mama menjelaskan; ”ini kan musim panen padi, jadi mereka semua ke sawah untuk panen, takut juga panennya dicuri orang kalau tidak dijaga.” Belum lagi hati ini terhibur karena melihat kondisi yang terjadi, aku pun mendapati bahwa ternyata tidak ada pendeta dalam gereja ini! Ya.. hanya ada 2 orang sintua (penatua) yang sudah bertahun-tahun lamanya hanya mereka yang melayani dan tidak pernah ada yang rindu memberi diri melayani menjadi sintua (penatua). Ah..Tuhan sesak dan pilu sekali rasanya hati ini.. di tengah bangunan yang indah ini tidak ada pendeta yang mau melayani di tempat ini...Pendeta baru mau datang melayani 1 tahun sekali, itu pun di hari besar, jika bukan Paskah ya Tahun Baru.

Protesku ”Bukankah ada banyak pendeta ada di Pusat, tak habis pikirku mengapa Pusat tak mengirimkan hamba-Nya datang ke tempat seperti ini. Justru kenyataannya banyak pendeta yang berlomba-lomba melayani di kota besar? Apakah karena pendapatan hidup yang lumayan tinggi atau karena kenyamanankah?? Tidak adakah beban di hati mereka untuk menyebarkan injil kasih Tuhan sampai ke pedalaman??. Ya memang, tidak jarang aku mendengar dan menyaksikan pendeta-pendeta yang diutus Pusat ke daerah itu karena ”dibuang”, dengan dua kemungkinan alasannya:
1.   Karena mereka menyuarakan kebenaran di tempat mereka ditugaskan, atau,
2.   Karena mereka tidak disukai, sehingga penatua gereja berhak membuat surat kepada Pusat supaya dimutasi.

Sungguh miris hatiku menyaksikan ini semua, meskipun ada rasa syukur bahwa di tengah kondisi seperti ini Tuhan masih karuniakan dua orang yang tetap setia melayani sebagai sintua dan mereka jugalah yang menjadi organis gereja dan pengkhotbahnya. Namun mereka sudah cukup tua, bagaimana jika mereka sudah tidak ada kelak!!.., siapakah yang akan menggantikan mereka??.. Di tengah kesedihan itu, aku merasakan kasih Allah yang besar menarikku dan memanggilku. Inilah awal beban dan panggilan untukku dalam anugerahNya.

Selama 2 minggu aku disana, Tuhan terus menanamkan belas kasihan-Nya bagi umatNya di sana, bagaimana penduduk disana amat ketakutan jika panennya hilang atau tidak berhasil. Hidup yang disandarkan kepada kesementaraan bukan kepada kekekalan. Bermula dari pergumulan inilah serta kerinduan agar injil yang dimulai dari tanah batak tidak pudar atau hanya menjadi simbolik keagaaman. Aku mulai mendoakan dan menggumulkan dengan serius hal ini, sampai aku kembali pulang ke Bekasi tempat aku tinggal, hingga sampai memasuki tahun 2010 ini. Itu berarti sudah hampir 3 tahun lamanya beban itu terus nyata dan membara Tuhan tanamkan untuk aku pergi dan melayani disana.

Memang awalnya beban yang aku tangkap adalah di Tolping, kampung halamanku. Namun dalam dua tahun belakangan ini Tuhan membukakan lebih luas lagi kondisi Sumatera Utara dan menanamkan beban kasih-Nya. Lewat doa dan Firman Ia memantapkan beban dan langkahku. Kutahu Ia mengukir jalan hidupku, tangan Tuhan yang perkasa memimpin dan membimbing jalan hidupku. Hidupku ada dalam rencana-Nya. Jadi dimanapun Tuhan perintahkan untuk pergi, aku mau taat dan setia dalam jalan dan rencana-Nya. Asalkan injil makin mengakar kuat dan banyak orang (penduduk pelosok) dibawa kepada iman percaya kepada Kristus. Dengan terus mendoakan para hamba Tuhan (pendeta) mau menyerahkan dirinya, diutus menjadi pendeta ke daerah pelosok Sumatera Utara dengan pemikiran yang diubahkan bahwa menjadi pendeta di daerah pelosok bukanlah pendeta yang dibuang. Namun karena ketaatan akan penggilan Tuhan dan berita injil serta kasih Tuhan yang harus disebar. Amin.

Ririn Sihotang
11.11.2010

No comments:

Post a Comment